KATA PENGANTAR
Salam sejahtera, Puji
dan Syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan kasihnya sehingga
penulis bisa menyelesaikan Makalah sesuai dengan harapan. Dalam Makalah ini
penulis membahas tentang “ASPEK HUKUM
KONTRAK INTERNASIONAL FRANCHISE (WARALABA) “
Penulis menyadari
bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam penulisan Makalah ini karena
keterbatasan akan pengetahuan dan kemampuan yang penulis miliki, namun demikian
penulis berharap semoga dengan Tugas Makalah ini dapat dijadikan sebagai
sumbangan pikiran bagi semua pihak
Akhir kata dan
kerendahan hati, penulis menyadari bahwa Tugas Makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
Penulis harapkan kesempurnaan Tugas Makalah ini.
Tebing Tinggi, November 2013
Penulis
iii
DAFTAR ISI
- Kata Pengantar ............................................................................................................................... i
- Daftar Isi ........................................................................................................................................ ii
BAB – I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................................ 1
1.2 Permasalahan .............................................................................................................................. 2
1.3 Tujuan ......................................................................................................................................... 2
1.4 Kegunaan .................................................................................................................................... 2
BAB–II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Waralaba ........................................................................................................................ 3
2.2 Pengertian Waralaba ................................................................................................................... 3
2.3 Bentuk Perjanjian
Waralaba ........................................................................................................ 4
2.4 Aspek Hukum Kontrak
Dalam Waralab ..................................................................................... 5
2.5 Asas Asas Hukum Kontrak ........................................................................................................ 6
2.6 Syarat-Syarat Sahnya
Kontrak ................................................................................................... 7
BAB-III PEMBAHASAN
3.1 Aspek Hukum Waralaba (Franchise)
......................................................................................... 8
3.2 Perbedaan Pemberian
Waralaba dengan Lisensi ......................................................................... 11
3.3 Perkembangan Franchise
di Dunia Bisnis Internasional ............................................................ 12
BAB-IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ................................................................................................................................. 14
4.2 Saran-Saran ................................................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA
BAB – I
P E N D A H U L U A N
1.1. Latar Belakang
Istilah
franchise menurut S. Muharam menjadi istilah yang akrab dengan
masyarakat, khususnya masyarakat bisnis Indonesia. Istilah ini kemudian menarik
perhatian banyak pihak untuk mendalaminya. Karena perhatian itu maka istilah franchise
dimodifikasi dengan istilah waralaba. Istilah Waralaba diperkenalkan
pertama kali oleh Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen (LPPM) sebagai
padanan istilah franchise. Waralaba berasal dari kata wara (lebih atau
istimewa ) dan laba ( untung ), maka waralaba berarti usaha yang memberikan
laba lebih / istimewa. Lebih lanjut S. Muharam mengatakan waralaba digambarkan
sebagai perpaduan bisnis “besar” dan “kecil” yaitu perpaduan antara energi dan komitmen
individual dengan sumber daya dan kekuatan sebuah perusahaan besar.
Waralaba
adalah suatu pengaturan bisnis dimana sebuah perusahaan (franchisor )
memberi hak pada pihak independen (franchisee) untuk menjual produk atau
jasa perusahaan tersebut dengan peraturan yang ditetapkan oleh franchisor.
Franchisee menggunakan nama, goodwill, produk dan jasa, prosedur
pemasaran, keahlian, sistem prosedur operasional, dan fasilitas penunjang dari
perusahaan franchisor. Sebagai imbalannya franchisee membayar
royalti ( biaya pelayanan manajemen ) pada perusahaan franchisor seperti
yang diatur dalam perjanjian waralaba.
Dalam
rangka meningkatkan pembinaan usaha waralaba di seluruh Indonesia maka perlu
mendorong pengusaha nasional terutama pengusaha kecil dan menengah untuk tumbuh
sebagai pemberi waralaba nasional yang handal dan mempunyai daya saing di dalam
negeri dan luar negeri khususnya dalam rangka memasarkan produk dalam negeri.
Oleh karrena itu dibutuhkan perana npemerintah (negara) dalam menatakelola
waralaba (Satjipto Rahardjo, 1978: 13). Pemerintah memandang perlu mengetahui
legalitas dan bonafiditas usaha Pemberi Waralaba baik dari luar negeri dan
dalam negeri guna menciptakan transparansi informasi usaha yang dapat
dimanfaatkan secara optimal oleh usaha nasional dalam memasarkan barang
dan/atau jasa dengan Waralaba. Disamping itu, Pemerintah dapat memantau dan
menyusun data waralaba baik jumlah maupun jenis usaha yang diwaralabakan. Untuk
itu, Pemberi Waralaba sebelum membuat perjanjian Waralaba dengan Penerima
Waralaba, harus menyampaikan prospektus penawaran Waralaba kepada Pemerintah
dan calon Penerima Waralaba. Disisi lain, apabila terjadi kesepakatan
perjanjian Waralaba, Penerima Waralaba harus menyampaikan perjanjian Waralaba tersebut
kepada Pemerintah.
Kegiatan
waralaba (franchise) sebagai bentuk usaha banyak mendapat perhatian para
pelaku bisnis, dikarenakan dapat menjadi salah satu cara untuk meningkatkan
kegiatan perekonomian dan memberikan kesempatan kepada golongan ekonomi lemah
untuk berusaha, ini berarti, Franchise dapat memberikan kesempatan
kerja, pemerataan dan juga menciptakan lapangan kerja masyarakat. Bidang atau
sektor yang sering dilakukan dengan cara franchise yaitu bidang minuman (Coca
Cola), makanan (Mc Donald’s dan Kentucky Fried Chiken), Perhotelan
(Hyatt, Ibis, Natour Garuda), Restoran, Pendidikan, Fast Food dan lain
sebagainya (Deden Setiawan, 2007:13) Sering disebut-sebut bahwa franchise merupakan
The hottest business in the world, (Bambang Tjatur Iswanto, 2007:5)
betapa tidak, dengan konsep bisnis ini, orang dapat langsung dengan sekejap
berkibar di bidang-bidang bisnis tertentu yang merek, paten atau sistem
bisnisnya sudah sangat populer bukan saja di Indonesia bahkan di seluruh dunia,
padahal untuk mempopulerkan merek, paten atau sistem bisnis tadi memerlukan
waktu puluhan tahun.Namun tidak sedikit juga yang gagal, dengan konsep bisnis franchise
ini, seorang franchisee (penerima franchise) dapat langsung
“ngompreng” popularitas produk dan merek orang lain tanpa perlu harus mengembangkannya
sendiri produk tersebut. Berkat adanya inovasi di bidang transaksi bisnis ini
yang kemudian dikenal dengan sebutan franchise maka kita dapat mencicipi
lezatnya hamburger produk Mc Donald yang berasal dari negara Amerika
itu, orang tidak perlu jauh-jauh harus ke Amerika, tetapi cukup menikmatinya di
salah satu restoran Mc Donald yang bertebaran di kota-kota di Indonesia. Perjanjian
waralaba merupakan salah satu aspek perlindungan hukum kepada para pihak. Jika
salah satu pihak melanggar isi perjanjian waralaba, maka pihak yang lain dapat
menuntut pihak yang melanggar sesuai dengan hukum yang berlaku.
Saat
ini sektor bisnis waralaba sudah sangat beragam artinya tidak hanya didominasi
oleh sektor makanan saja tetapi mulai dari sektor usaha pendidikan, salon,
retail, laundry, kebugaran, pencucian mobil, aksesoris kendaraan sudah
banyak yang diwaralabakan. Bahkan apotek misalnya Apotek K-24 Semarang yang
mencanangkan untuk go public melalui franchise (Nurin Dewi Arifiah, 2008:20). Bisnis
waralaba adalah bisnis favorit di Indonesia. Ini terlihat dari jumlah pelaku
waralaba yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Ketua WALI (Waralaba &
Lisensi Indonesia), Levita Supit, menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2010 ini omzet
waralaba di Indonesia diperkirakan sebesar 100 triliun rupiah. Jumlah pekerja
yang berada di sektor waralaba di tahun 2010 ini diperkirakan sebesar 1,2 juta
jiwa. Ini artinya sektor waralaba adalah sektor bisnis yang potensial dalam
meningkatkan perekonomian dan menyerap tenaga kerja di Indonesia.
Di
lain pihak menurut situs terebut bahwa sepanjang tahun 2010 ini pula, sudah 13
waralaba asing masuk ke Indonesia. Bagi negara lain, terutama negara-negara
tetangga, Indonesia dianggap sebagai pangsa pasar yang potensial untuk bisnis
waralaba. Amir Karamoy selaku Ketua Komite Tetap Waralaba & Lisensi
Indonesia menyebutkan bahwa pertumbuhan waralaba lokal di Indonesia adalah
salah satu yang terpesat di dunia, bahkan yang terpesat di Asia, yaitu sekitar
6-7% per tahun. Namun sayangnya hanya sebagian kecil dari usaha tsb yang
dianggap layak dan siap untuk bersaing dengan waralaba asing untuk memasuki
pasar internasional. Beberapa dari mereka mencoba untuk menembus pangsa
internasional namun kebanyakan hanya bertahan paling lama 2 tahun.
1.2. Permasalahan
Permasalahan dalam
makalah ini adalah bagaimanakan perkembangan hukum kontrak internasional
terhadap kegiatan bisnis franchise (waralaba)
1.3. Tujuan
Tujuan makalah ini
adalah untuk mengetahui sampai sejauh manaperkembangan hukum kontrak
internasional terhadap kegiatan bisnis franchise (waralaba).
1.4. Kegunaan
Kegunbaan dalam
penulisan makalah ijni adalah untuk mmemberikan sumbangan pemikian terhadap perkembangan
kegiatan bisnis franchise (waralaba) ditinjau dari aspek hokum kontrak
internasional dalam kaitannya dengan mata kuliah Hukum Perikatan pada Program
Pascasarjana S2 Ilmu Hukum pada Universitas 45 Makassar.
BAB – II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah Waralaba
Sejarah
franchise dimulai di Amerika Serikat oleh perusahaan mesin jahit Singer
sekitar tahun 1850 – an. Pada saat itu, Singer membangun jaringan distribusi
hampir di seluruh daratan Amerika untuk menjual produknya. Di samping menjual
mesin jahit, para distributor tersebut juga memberikan pelayanan purna jual dan
suku cadang. Jadi para distributor tidak semata menjual mesin jahit, akan
tetapi juga memberikan layanan perbaikan dan perawatan kepada konsumen (Deden
Setiawan 2007:13). Walaupun tidak terlampau berhasil, Singer telah menebarkan
benih untuk franchising di masa yang akan datang dan dapat diterima secara
universal. Walaupun usahanya tersebut gagal, namun dialah yang pertama kali memperkenalkan
format bisnis waralaba ini di AS. Kemudian, caranya ini diikuti oleh pewaralaba
lain yang lebih sukses, John S Pemberton, pendiri Coca Cola. Namun, menurut
sumber lain, yang mengikuti Singer kemudian bukanlah Coca Cola, melainkan
sebuah industri otomotif AS, General Motors Industry ditahun 1898. Pola ini
kemudian diikuti oleh industri minyak dengan pompa bensinnya serta industri
minuman ringan. Mereka ini adalah para produsen yang tidak mempunyai jalur
distribusi untuk produk-produk mereka, sehingga memanfaatkan sistem franchise
di akhir abad ke 18 dan diawal abad ke 19. Sesudah perang dunia ke II, usaha
eceran mengadakan perubahan dari orientasi produk ke orientasi pelayanan.
Disebabkan kelas menengah mulai sangat mobile dan mengadakan relokasi dalam
jumlah besar ke daerah-daerah pinggiran kota, maka banyak rumah makan /
restoran atau drive in mengkhususkan diri dalam makanan siap saji dan
makanan yang bisa segera di makan di perjalanan.
Pada
awalnya istilah franchise tidak dikenal dalam kepustakaan Hukum Indonesia,
hal ini dapat dimaklumi karena memang lembaga franchise ini sejak awal
tidak terdapat dalam budaya atau tradisi bisnis masyarakat Indonesia. Namun
karena pengaruh globalisasi yang melanda di berbagai bidang, maka franchise ini
kemudian. masuk ke dalam tatanan budaya dan tatanan hukum masyarakat Indonesia
(Tengku Keizerina Devi Azwar :2005:1-2. Waralaba mulai ramai dikenal di
Indonesia sekitar tahun 1970-an dengan mulai masuknya franchise luar negeri
seperti Kentucky Fried Chicken, Swensen, Shakey Pisa dan kemudian
diikuti pula oleh Burger King dan Seven Eleven, Walaupun sistem
franchise ini sebetulnya sudah ada di Indonesia seperti yang diterapkan oleh
Bata dan yang hampir menyerupainya ialah SPBUpompa bensin Deden Setiawan (2007:
6).
2.2. Pengertian
Waralaba ( Franchise )
Pengertian
Franchise berasal dari bahasa Perancis affranchir yang berarti to
free yang membebaskan. Dengan istilah franchise di dalamnya terkandung
makna, bahwa seseorang memberikan kebebasan dari ikatan yang menghalangi kepada
orang untuk menggunakan atau membuat atau menjual sesuatu (Ridwan Khairandy,
2000:133) Dalam bidang bisnis franchise berarti kebebasan yang diperoleh
seorang wirausaha untuk menjalankan sendiri suatu usaha tertentu di wilayah
tertentu (Richard Burton Simatupang, 2003:56). Franchise ini merupakan
suatu metode untuk melakukan bisnis, yaitu suatu metode untuk memasarkan produk
atau jasa ke masyarakat. Selanjutnya disebutkan pula bahwa franchise dapat didefinisikan
sebagai suatu sistem pemasaran atau distribusi barang dan jasa, di mana sebuah
perusahaan induk (franchisor) memberikan kepada individu atau perusahaan
lain yang berskala kecil dan menengah (franchisee), hak – hak istimewa
untuk melaksanakan suatu sistem usaha tertentu dengan cara yang sudah
ditentukan, selama waktu tertentu, di suatu tempat tertentu (Richard Burton
Simatupang,2003:56). Sementara itu Munir Fuady (1994:341–345) menyatakan bahwa franchise
atau sering disebut juga dengan istilah waralaba adalah suatu cara melakukan
kerjasama di bidang bisnis antara 2 ( dua ) atau lebih perusahaan, di mana 1 (
satu ) pihak akan bertindak sebagai franchisor dan pihak yang lain sebagai
franchisee, di mana di dalamnya diatur bahwa pihak - pihak franchisor
sebagai pemilik suatu merek dari know - how terkenal, memberikan hak
kepada franchisee untuk melakukan kegiatan bisnis dari / atas suatu
produk barang atau jasa.
Santoso
Lolowang (http:www.santosololowang.com) mengatakan ada banyak definisi dan
pendapat yang dikemukakan tentang sistim ini, beberapa diantaranya :
1.
Franchise adalah sistim pemasaran atau distribusi barang dan jasa, dimana sebuah
perusahaan induk (franchisor) memberikan kepada individu atau perusahaan
lain (franchisee) yang berskala kecil dan menengah, hak istimewa untuk melakukan
suatu sistem usaha tertentu, dengan cara tertentu, waktu tertentu, dan di suatu
tempat tertentu.
2.
Franchise adalah sebuah metode pendistribusian barang dan jasa kepada masyarakat
konsumen, yang dijual pada pihak lain yang berminat. Pemilik dari metode yang
dijual ini disebut “Franchisor”, sedangkan pembeli hak untuk menggunakan
metode itu disebut “Franchisee”.
3.
Franchising
adalah suatu hubungan berdasarkan
kontrak antara franchisor dan franchisee. Franchisor berkewajiban
untuk menyediakan perhatian terus-menerus pada bisnis dari franchisee melalui
penyediaan pengetahuan dan pelatihan. Franchisee beroperasi dengan
menggunakan nama dagang, format, atau prosedur yang dipunyai serta dikendalikan
oleh franchisor. Franchisee melakukan investasi dalam bisnis yang
dimilikinya.
4.
Hubungan
kerjasasama (franchising) terwujud bila terdapat sebagai berikut:
-
Ada paket
usaha yang ditawarkan oleh franchisor.
-
Franchisee adalah pemilik unit usaha.
-
Ada
kerjasama antara franchisee dan franchisor dalam pengelolaan unit
usaha.
-
Ada kontrak
tertulis yang mengatur kerjasama antara franchisor dan franchisee.
2.3. Bentuk Perjanjian
Waralaba
Dalam
franchise, dasar hukum dari penyelenggaraannya adalah kontrak antara
kedua belah pihak. Kontrak franchise biasanya menyatakan bahwaanchise
adalah kontraktor independent dan bukannya agen atau pegawai franchisor.
Namun demikian perusahaan induk dapat membatalkan franchise tersebut, bila
franchisee melanggar persyaratan - persyaratan dalam persetujuan itu.
Sebagaimana halnya lisensi adalah suatu bentuk perjanjian yang isinya
memberikan hak dan kewenangan khusus kepada pihak penerima waralaba.
Unsur
yang terdapat dalam waralaba menurut Mariam Darus Badrulzaman (2005:27)
tersebut adalah :
1.
Merupakan
suatu perjanjian
2.
Penjualan
produk / jasa dengan merek dagang pemilik waralaba (franchisor)
3.
Pemilik
waralaba membantu pemakai waralaba (franchisee) di bidang pemasaran,
manajemen dan bantuan tehnik lainnya.
4.
Pemakai
waralaba membayar fee atau royalty atas penggunaan merek pemilik
waralaba.
Semua
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka
yang membuatnya. Persetujuan – persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali,
selain kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan – alasan yang oleh
undang – undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan – persetujuan harus
dilaksanakan dengan itikad baik (Mariam Darus Badrulzaman, 2005:27). Karena itu
pula suatu perjanjian franchise yang dibuat oleh para pihak yaitu franchisor
dan franchise berlaku sebagai undang-undang pula bagi mereka. KUH Perdata
tidak menempatkan perjanjian franchise sebagai suatu perjanjian bernama secara
langsung, seperti jual beli, sewamenyewa dan sebagainya. Di dalam perjanjian
diperlukan kata sepakat, sebagai langkah awal sahnya suatu perjanjian yang
diikuti dengan syarat-syarat lainnya maka setelah perjnjian tersebut maka
perjanjian itu akan berlaku sebagai undang- undang bagi para pihaknya hal itu
diatur dalam pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata.
Disamping
kedua asas diatas ada satu faktor utama yang harus dimiliki oleh para pihak
yaitu adanya suatu itikad baik dari masing-masing pihak untuk melaksanakan
perjanjian. Asas tentang itikad baik itu diatur didalam pasal 1338 ayat 3
KUHPerdata yang berbunyi : “Suatu Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
Didalam membuat suatu perjanjian para pihak harus memenuhiketentuan pasal 1320
KUHPerdata tentang syarat sahnya suatu perjanjian :
a.
Adanya kata
sepakat diantara para pihak.
b.
Kecakapan
para pihak dalam hukum.
c.
Suatu hal
tertentu.
d.
Kausa yang
halal.
2.4. Aspek Hukum
Kontrak Dalam Waralaba
Istilah
kontrak berasal dari bahasa Inggris, yaitu contract. Hukum kontrak merupakan
terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu contract of law, sedangkan dalam
bahasa Belanda disebut dengan istilah Overeenscom-strecht. Dalam tampilannya
yang klasik, untuk istilah kontrak ini sering disebut dengan istilah “perjanjian”
sebagai terjemahan dari “agreement” dalam bahasa Inggris.Namun demikian
istilah “kontrak” ( sebagai terjemahan dari istilah Inggris “contract” )
adalah paling modern, paling luas dan paling lazim digunakan, termasuk pemakaiannnya
dalam dunia bisnis Yang dimaksud dengan kontrak adalah suatu kesepakatan yang
diperjanjikan (promissory agreement) di antara 2 (dua) atau lebih pihak
yang dapat menimbulkan, memodifikasi, atau menghilangkan hubungan hokum (Munir
Fuady, 2002: 91). Definisi lain menurut Ensiklopedia Indonesia berpendapat
bahwa hukum kontrak adalah “Rangkaian kaidah-kaidah hukum yeng mengatur
berbagai persetujuan dan ikatan antara warga – warga hukum.” Definisi hukum
kontrak yang tercantum dalam Ensiklopedia Indonesia mengkaji dari aspek ruang lingkup
pengaturannya, yaitu persetujuan dan ikatan warga hukum. Definisi ini menyamakan
pengertian antara kontrak ( perjanjian ) dengan persetujuan, padahal antara
keduanya adalah berbeda. Kontrak ( perjanjian ) merupakan salah satu sumber
perikatan, sedangkan persetujuan salah satu syarat sahnya kontrak, sebagaimana
yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata (Munir Fuady, 2002: 91). Pengertian
perjanjian atau kontrak diatur di pasal 1313 KUH Perdata pasal 1313 KUH Perdata
berbunyi “ Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Munir Fuady, 2005:9
mengutip pendapat M. Yahya Harahap yang menegaskan maksud dalam pasal tersebut
bahwa tindakan / perbuatan (handeling) yang menciptakan persetujuan,
berisi “pernyataan kehendak” ( wils verklaring) antara para pihak.
Dengan demikian persetujuan tiada lain dari pada “persesuaian kehendak” antara
para pihak.
Selanjutnya
dijelaskan lebih lanjut bahwa tidak semua tindakan / perbuatan mempunyai akibat
hukum (rechtgevolg ) dan hanya tindakan hukum sajalah yang dapat
menimbulkan akibat hukum. Dalam pasal 1319 KUH Perdata ditentukan dua macam
kontrak menurut namanya yaitu kontrak nominaat ( bernama / benoemde )
dan kontrak innominaat ( tidak bernama ) yang tunduk pada buku III KUH
Perdata. Kontrak innominaat adalah kontrak yang timbul, tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat seperti kontrak production sharing, joint venture,
kontrak karya, kontrak konstruksi, leasing, beli sewa, franchise, manajemen
kontrak, technical assistance contract. Dan lain-lain peristilahan.
Kontrak nominaat adalah kontrak yang dikenal dan terdapat dalam pasal
1319 KUH Perdata yang berbunyi “ semua perjanjian, baik yang mempunyai nama
khusus, maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada
peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu (Syahrin Naihasy,
2005:67). Yang termasuk di dalam kontrak nominaat adalah jual beli,
tukar menukar, sewa – menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang,
pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian
dan lain-lain. Untuk mewujudkan kesempurnaan hukum kontrak inominaat harus
memenuhi
lima unsur (Syahrin
Naihasy, 2005:68) yaitu :
1.
Adanya
kaidah hukum, baik kaidah tertulis tidak tertulis
2.
Adanya
subjek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban
3.
Adanya
obyek hukum, yang erat kaitannya dengan pokok prestasi
4.
Adanya kata
sepakat yang merupakan persesuaian pernyataan kehendak para pihak tentang
substansi dan obyek kontrak
5.
Akibat
hukum yaitu yang berkaitan dengan timbulnya hak dan kewajiban dari para pihak
2.5. Asas-asas Hukum
Kontrak
Yang
dimaksud dengan asas hukum kontrak adalah prinsip yang harus di pegang bagi
para pihak yang mengikatkan diri ke dalam hubungan hukum kontrak. Menurut Hukum
Perdata, sebagai dasar hukum utama dalam berkontrak, dikenal 5 ( lima ) asas
penting menurut HS, Salim (2003:34-35) sebagai berikut :
a.
Asas
Kebebasan Berkontrak ( Freedom of contract ). Sistem pengaturan hukum
kontrak adalah sistem terbuka ( open sistem ) artinya bahwa setiap orang
bebas untuk mengadakan perjanjian baik yang sudah diatur maupun yang belum
diatur di dalam undang-undang.
b.
Asas
Konsensualisme. Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat ( 1
) KUH Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya
perjanjian, yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme
merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan
secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat
oleh kedua belah pihak.
c.
Asas Pacta
Sunt Servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini
berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan
asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang
dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak
boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para
pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat
( 1 ) KUH Perdata yang bunyinya : Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undangundang.
d.
Asas Itikad
Baik ( Goede Trouw ). Asas itikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338
ayat ( 3 ) KUH Perdata Pasal 1338 ayat ( 3 ) KUH Perdata berbunyi “ Perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas itika merupakan asas bahwa para
pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak
berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para
piha ke Asas Kepribadian ( Personalitas ). Asas kepribadian merupakan asas yang
menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya
untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 1315 dan
pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi “ Pada umumnya
seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya
sendiri.”
2.6. Syarat-syarat
Sahnya Kontrak
Waralaba
merupakan suatu perikatan / perjanjian antara dua pihak. Sebagai
perjanjian dapat dipastikan terikat pada ketentuan dalam Hukum Perdata sehingga
sahnya suatu perjanjian menurut pasal 1320 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata
diperlukan empat syarat yaitu :
a.
Kesepakatan
( toesteming / izin ) kedua belah pihak. Kesepakatan ini diatur dalam
pasal 1320 ayat ( 1 ) KUH Perdata, Juajir Sumardi (1995:46) mengatakan untuk
menjamin kepastian hukum, sebaiknya perjanjian franchise dibuat dihadapan
pejabat yang berwenang (Notaris). Dalam hal ini, perlu memperhatikan secara
seksama mengenai partner (Partner yang dimaksudkan disini adalah franchise
lainnya dan konsumen), pemeliharaan standar ( Sistem Franchise hanya
akan berjalan dengan baik jika seluruh pihak yang terlibat dalam sistem franchise
tersebut dengan sungguh-sungguh memelihara sistem yang telah ditentukan
oleh franchisor, hubungan para pihak (kerjasama franchise berlangsung
sebagaimana ditentukan dalam perjanjian dan perlu ditegaskan apakah hubungan
kerjasama tersebut dapat diperpanjang lagi atau tidak), segi komersial Franchise
pada dasarnya adalah hubungan bisnis, oleh karena itu segi pembagian
keuntungan atau segi pembayaran franchisee kepada franchisor harus
diatur secara jelas agar tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari),
teknik operasional (apabila dalam perjanjian standar masih kurang lengkap, maka
bisa dibuat perjanjian tambahan sebagai pedoman dalam pengoperasian franchise),
dan masalah antisipasi masa datang (misalnya meninggal atau bubarnya franchisee,
pemindahan lokasi, perubahan).
b.
Kecakapan
Bertindak. Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan
perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat
hukum. Orang – orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang – orang
yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana
yang ditentukan oleh undang – undang sebagai bekwaam ( cakap ) merupakan
syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah
dewasa, sehat akal pikiran, dan tidak dilarang oleh sesuatu peraturan
perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu
c.
Mengenai
suatu hal tertentu. Suatu hal tertentu adalah barang yang menjadi obyek dalam
kontrak. Menurut pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, barang yang
menjadi obyek suatu kontrak harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan
jenisnya. Demikian juga jumlahnya perlu ditentukan asal dapat ditentukan dan
diperhitungkan
d.
Suatu sebab
yang halal (Geoorloofde oorzaak). Halal merupakan syarat keempat sebagai
sahnya suatu kontrak. Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menegaskan
“jika kontrak tanpa sebab, atau kontrak karena sebab palsu atau terlarang maka
tidak mempunyai kekuatan” Menurut Subekti (2000:17) dua syarat yang pertama,
dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau
subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir
dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau
obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Oleh
karena itu Salim HS selanjutnya mengatakan apabila syarat pertama dan kedua
tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya, bahwa salah satu
pihak dapat mengajukan kepada pengadilan utuk membatalkan perjanjian yang
disepakatinya. Tetapi apabila para pihak tidak ada yang keberatan maka
perjanjian itu tetap dianggap sah. Syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi
maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya bahwa
dari semula perjanjian
itu dianggap tidak ada (Salim HS, 2005:34 – 35). Ada beberapa syarat untuk
kontrak yang berlaku umum tetapi di atur di luar pasal 1320 KUH Perdata, yaitu
sebagai berikut :xii
a.
Kontrak
harus dilakukan dengan itikad baik
b.
Kontrak
tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku
c.
Kontrak
harus dilakukan berdasarkan asas kepatutan
d.
Kontrak
tidak boleh melanggar kepentingan umum
Apabila
kontrak dilakukan dengan melanggar salah satu dari 4 ( empat ) prinsip
tersebut, maka konsekuensi yuridisnya adalah bahwa kontrak yang demikian tidak
sah dan batal demi hukum ( null and void ). Adapun pasal 1338 ayat ( 1 )
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi “semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya”. Persetujuan-persetujuan
itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau
karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
BAB – III
P E M B A H A S A N
3.1. Aspek Hukum
Waralaba (Franchise)
Waralaba
menurut pasal 1 Peraturan Pemerintah RI No 16 tahun 1997 adalah “perikatan
dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan
hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki
pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan dan atau penjualan
barang dan atau jasa”.
Sedangkan
berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 42 Tahun 2007 pasal 1 ayat ( 1 )
menyebutkan pengertian waralaba adalah: “hak khusus yang dimiliki oleh orang
perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha
dalam rangka memasarkan barang dan / atau jasa yang telah terbukti berhasil dan
dapat dimanfaatkan dan / atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian
waralaba” Dalam franchise ada dua pihak yang terlibat yaitu franchisor
atau pemberi waralaba dan franchisee atau penerima waralaba di mana
masing – masing pihak terikat dalam suatu perjanjian yaitu perjanjian waralaba.
Peraturan Pemerintah RI No. 42 Tahun 2007 dalam pasal 1 ayat ( 2 ) yang
dimaksud franchisor atau pemberi waralaba adalah orang perseorangan atau
badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan dan / atau menggunakan waralaba
yang dimilikinya kepada penerima waralaba dan dalam pasal 1 ayat (3) yang
dimaksud franchisee atau penerima waralaba adalah orang perseorangan
atau badan usaha yang diberikan hak oleh pemberi waralaba untuk memanfaatkan
dan / atau menggunakan waralaba yang dimiliki pemberi waralaba.
Sementara
itu dalam pasal 3 ada enam syarat yang harus dimiliki suatu usaha apabila ingin
diwaralabakan yaitu :
a.
Memiliki
ciri khas usaha. Suatu usaha yang memiliki keunggulan atau perbedaan yang tidak
mudah ditiru dibandingkan dengan usaha lain sejenis, dan membuat konsumen
selalu mencari ciri khas dimaksud. Misalnya sistem manajemen, cara penjualan
dan pelayanan, atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik
khusus dari pemberi waralaba.
b.
Terbukti
sudah memberikan keuntungan. Menunjuk pada pengalaman pemberi waralaba yang
telah dimiliki yang kurang lebih 5 tahun dan telah mempunyai kiat – kiat bisnis
untuk mengatasi masalah – masalah dalam perjalanan usahanya, dan ini terbukti
dengan masih bertahan dan berkembangnya usaha tersebut dengan menguntungkan.
c.
Memiliki
standar atas pelayanan dan barang dan / atau jasa yang ditawarkan yang dibuat
secara tertulis. Usaha tersebut sangat mebutuhkan standar secara tertulis
supaya penerima waralaba dapat melaksanakan usaha dalam kerangka kerja yang
jelas dan sama yang dikenal dengan Standard Operasional Prosedur (SOP).
d.
Mudah
diajarkan dan diaplikasikan. Mudah dilaksanakan sehingga penerima waralaba yang
belum memiliki pengalaman atau pengetahuan mengenai usaha sejenis dapat
melaksanakannya dengan baik sesuai dengan bimbingan operasional dan manajemen
yang berkesinambungan yang diberikan oleh pemberi waralaba.
e.
Adanya
dukungan yang berkesinambungan. Dukungan dari pemberi waralaba kepada penerima
waralaba secara terus – menerus seperti bimbingan operasional, pelatihan dan
promosi.
f.
Hak kekayaan
Intelektual yang telah terdaftar. Hak kekayaan intelektual yang terkait dengan
usaha seperti merek, hak cipta atau paten atau lisensi dan / atau rahasia
dagang sudah didaftarkan dan mempunyai sertifikat atau sedang dalam proses
pendaftaran di instansi yang berwenang.
Pelaksanaan
perjanjian waralaba ini dalam Peraturan Pemerintah RI No. 42 Tahun 2007 pada
pasal 4 ayat ( 1 ) disebutkan bahwa waralaba diselenggarakan berdasarkan
perjanjian tertulis antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba dengan
memperhatikan Hukum Indonesia dan pada pasal 4 ayat ( 2 ) disebutkan pula dalam
hal perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) ditulis dalam bahasa asing,
perjanjian tersebut harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dengan
demikian, apabila pihak pewaralaba pihak asing, sedangkan terwaralaba adalah
Indonesia, maka perjanjiannnya terikat pada peraturan Pemerintah No 42 Tahun
2007 tentang waralaba.
Sedangkan
untuk format perjanjian itu sendiri tidak menyebutkan harus menggunakan akta
notaris atau tidak, baik dalam peraturan yang lama maupun peraturan yang baru.
Ketentuan
pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2007, perjanjian waralaba memuat
klausula paling sedikit :
a.
nama dan
alamat para pihak;
b.
jenis hak
kekayaan intelektual;
c.
kegiatan
usaha;
d.
hak dan
kewjiban para pihak;
e.
bantuan,
fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang diberikan
pemberi waralaba kepada penerima waralaba;
f.
wilayah
usaha;
g.
jangka
waktu perjanjian;
h.
tata cara
pembayaran imbalan;
i.
kepemilikan,
perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris;
j.
penyelesaian
sengketa; dan
k.
tata cara
perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian;
Selanjutnya
dijelaskan pula dalam pasal 6 ayat ( 1 )bahwa dalam perjanjian waralaba ini
dapat memuat klausula pemberian hak bagi penerima waralaba untuk menunjuk
penerima waralaba lain dan dalam ayat ( 2 ) ditegaskan kembali bahwa penerima
waralaba yang diberi hak untuk menunjuk penerima waralaba lain, harus memiliki
dan melaksanakan sendiri paling sedikit 1 ( satu ) tempat usaha waralaba.
Dalam
pasal 7 disebutkan kewajiban pemberi waralaba, dimana pemberi waralaba harus
memberikan prospektus penawaran waralaba kepada calon penerima waralaba pada
saat melakukan penawaran. Selanjutnya prospektus penawaran waralaba sebagaimana
dimaksud memuat paling sedikit mengenai :
a.
data
identitas pemberi waralaba;
b.
legalitas
usaha pemberi waralaba;
c.
sejarah
kegiatan usahanya;
d.
struktur
organisasi pemberi waralaba;
e.
laporan
keuangan 2 ( dua ) tahun terakhir;
f.
jumlah
tempat usaha;
g.
daftar
penerima waralaba; dan
h.
hak dan
kewajiban pemberi waralaba dan penerima waralaba.
Selain
harus memberikan prospektus penawaran waralaba kepada calon penerima waralaba,
pemberi waralaba berkewajiban pula untuk memberikan pembinaan dalam bentuk
pelatihan, bimbingan operasional manajemen, pemasaran, penelitian, dan
pengembangan kepada penerima waralaba secara berkesinambungan ( pasal 8 ) dan
mengutamakan penggunaan barang dan / atau jasa hasil produksi dalam negeri
sepanjang memenuhi standar mutu barang dan / atau jasa yang ditetapkan secara
tertulis oleh pemberi waralaba (pasal 9 ayat 1).
xxviii
3.2. Perbedaan
Pemberian Waralaba Dan Lisensi
Pengertian
franchise ( waralaba ) selalu diartikan berbeda dengan lisensi. Padahal,
intinya hampir sama. Dalam praktik lisensi (licensing) diartikan lebih
sempit, yakni perusahaan atau seseorang ( licencor ) yang memberi hak kepada
pihak tertentu ( licensee ) untuk memakai merek / hak cipta / paten (hak
milik kekayaan intelektual ) untuk memproduksi atau menyalurkan produk/jasa
pihak licencor. Imbalannya licensee membayar fee (Iman Sjahputra,).
Lisencor tak mencampuri urusan manajemen dan pemasaran pihak licensee.
Misalnya, perusahaan Mattel Inc. yang memiliki hak karakter Barbie ( boneka
anak-anak) di AS memberikan hak lisensi kepada perusahaan mainan di Indonesia.
Lisensi merupakan ijin yang diberikan kepada pihak lain untuk memproduksi dan
memasarkan produk atau jasa tertentu. Pihak pemberi lisensi (licensor)
hanya berkewajiban mengawasi mutu produk atau jasa yang dijual oleh penerima
lisensi (Deden Setiawan,2005:8) Dalam perjanjian franchise ada beberapa
ketentuan yang menonjol yang dapat membedakan franchise dengan lisensi.
Di
dalam perjanjian franchise, adanya lisensi merek dagang atau merek jasa
diikuti oleh kewenangan pemilik merek melakukan kontrol guna menjamin kualitas
barang atau jasa yang dilisensikan itu. Pemilik merek juga mempunyai kewenangan
melakukan kontrol atas bisnis yang bersangkutan yang tidak bertalian dengan
persyaratan kualitas yang disebutkan di atas.
Dalam
perjanjian franchise pemberian lisensi selalu diikuti pelayanan (service)
dalam bidang teknik (technical assistance), pelatihan (training),
perdagangan dan manajemen (Ridwan Khairandy, 2000:135-136) Menurut Deden
Setiawan (2005:9) perbedaan antara kedua sistem ini terletak pada tanggung
jawab masing – masing pihak , dimana pada sistem franchise kedua belah
pihak terikat dalam sebuah kontrak kemitraan yang diikuti dengan kewajiban dan
tanggung jawab masing – masing pihak. Dalam konteks itu, franchisor bertanggung
jawab untuk memberikan seluruh informasi, mulai dari proses produksi, sistem
manajemen dan keuangan dari produk atau jasa yang difranchisekan sepanjang
kontrak masih berlaku.
Di
samping itu, perlu diketahui sejak awal oleh pihak franchisee bahwa
bisnis franchise harus dijalankan sendiri oleh orang yang bersangkutan.
Artinya pihak franchisee tidak boleh bersikap pasif dengan cara
memberikan atau menjual lagi hak bisnis itu kepada orang lain. Dalam hal
pemberian lisensi, pihak pemberi lisensi tidak mempunyai kewajiban dan tanggung
jawab atas bisnis yang dijalankan oleh pihak penerima lisensi. Pemberi lisensi
hanya berkepentingan pada perhitungan royalti atau pembagian keuntungan dari
volume atau omzet penjualan setiap waktu. Selain itu pemberi lisensi tidak
tidak mempunyai tanggung jawab untuk melakukan bimbingan atau pelatihan kepada
penerima lisensi, demikian kata Deden Setiawan.
xxx
3.3. Perkembangan Franchise
di Dunia Bisnis Internasional
Perjanjian
franchise merupakan transaksi bisnis, dalam hal ini juga dapat dimasukkan dalam
Hukum Perdata Internasional (HPI) karena adanya unsurunsur asing antara franchisor
dan franchisee, bila masing-masing negara mempunyai pengertian yang
berlainan maka diketahui hukum mana yang akan digunakan dalam perjanjian franchise
tersebut. Ada beberapa kemungkinan mengenai hukum yang harus dipergunakan
dalam perjanjian franchise (Bambang Tjatur Iswanto, 2007:40) Hal ini
disebabkan karena hak-hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang harus
dilaksanakan menurut perjanjian franchise dapat terjadi atau berlangsung
di negara yang bersangkutan atau dari negara ke tiga. Lebih lanjut Bambang
Tjatur Iswanto mengatakan bahwa di dalam perjanjian franchise ini hukum
yang berlaku dapat ditentukan oleh para pihak sendiri atau berdasarkan asas-
asas umum berlaku pada kontrak internasional.
Dan
melengkapi pendapat diatas, British franchise Assosiation (BFA) mendifinisikan franchise
sebagai perjanjian lisensi yang diberikan oleh franchisor kepada franchisee
yang berisi :
1.
Memberikan
hak kepada franchisor untuk melakukan pengwasan yang berlanjut selama
periode berlangsung .
2.
Mengharuskan
franchisor untuk memberikan bantuan kepada franchise dalam
melaksanakan usahanya sesuai dengan subyek franchisenya (berhubungan
dengan pemberian pelatihan dan merchandicing dan lain-lain).
3.
Mewajibakan
franchisee untuk secara berkala, selama franchise berlangsung,
harus membayar sejumlah uang sebagai pembayaran atas produk atau jasa yang
diberikan oleh franchisor kepada franchisee.
4.
Bukan merupakan
suatu transaksi antara perusahaan induk (Holding Company) dengan
cabangnya atau antara cabang dari perusahaan induk yang sama, atau antara
individu dengan perusahaan yang dikontrolnya.
Menurut
Juajir Sumardi (1995:46-47) perjanjian franchise dibuat oleh para pihak,
yaitu franchisor dan franchisee, yang keduanya berkualifikasi sebagai
subyek hukum, baik ia sebagai badan hukum maupun hanya sebagai perorangan.
Perjanjian franchise adalah suatu perjanjian yang diadakan antara pemilik
franchise (franchisor) dengan pemegang franchise (franchisee)
dimana pihak pihak franchisor memberikan hak kepada pihak franchisee untuk
memproduksi atau memasarkan barang barang (produk) dan atau jasa (pelayanan)
dalam waktu dan tempat tertentu yang disepakati di bawah pengawasan franchisor,
sementara franchisee membayar sejumlah uang tertentu atas hak yang
diperolehnya.
Hal
tersebut dapat dilihat dalam praktek franchise (Santoso Lolowang) mulai
dari jenis fast food seperti Kentucky Fried Chicken, McDonald’s, Pizza Hut,
sampai ke fitness centre. Tidak jarang sampai mengakibatkan perang
dagang antara sesama pemegang franchise. Sekarang lembaga ini diakui
tidak saja sebagai alat untuk mendorong investasi pada skala internasional tapi
juga sebagai teknik pemasaran yang membantu perkembangan bisnis kecil lokal.
Untuk Indonesia, kondisi itu dipengaruhi banyak oleh deregulasi yang dilakukan
pemerintah dalam bidang bisnis. Di negara-negara lain gelombang franchise
bergulir lebih cepat lagi.
Di
Eropa, masyarakat Eropah secara bersama juga telah menyusun franchising
agreement regulation pada tahun 1988 yang memberi jaminan kebebasan
negara-negara itu melakukan monopoli untuk kegiatan franchising. Santoso
Lolowang juga mengatakan bahwa di kawasan ASEAN, perkembangan franchise terasa
semakin kuat. Sebagai contoh Waralaba Es Teler 77 dan Lembaga Kursus
International Language Programs (ILP) dalam waktu dekat akan menembus
Negara-negara ASEAN termasuk China.
1.
Es Teler 77
akan menjadi Pemberi Waralaba bagi Penerima Waralaba di China. Es Teler 77
didirikan oleh Murniati Widjaja pada 1982. Murniati dengan dukungan suaminya
membuka restoran khusus es teler yang diberinya nama Es Teler 77. Dua angka di belakang
bukan tanpa makna. Bagi keluarga Widjaja, 77 merupakan nomor keberuntungan. Pada
1987, franchise pertama dibuka di Solo Jawa Tengah. Namun saat ini, Es
Teler 77 telah mencapai 180 cabang dan mempekerjakan dua ribu orang, hampir di
seluruh provinsi ada. Es Teler 77 juga sudah merambah Singapura dan Australia.ii
2.
Selain
kedua waralaba itu, waralaba asal Indonesia yang sudah terlebih dahulu eksis di
pasar luar negeri adalah Auto Bridal. Auto Bridal menjadi Pemberi Waralaba bagi
sembilan Penerima Waralaba di Malaysia.
3.
Alfamart
juga tidak ketinggalan, mungkin beberapa tahun ke depan Alfamart juga go
internasional, barangkali akan diikuti oleh Indomart dan lain-lain.
4. Walaupun disana-sini masih banyak masalah menyangkut franchise
tersebut mkisalnya gugatan masyarakat (pemilik warung, took-toko kelontong yang
berdekatan dengan usaha franchise tersebut) namun harapan kiranya mereka dapat
menyaingi franchise terkenal di dunia misalnya Coca Cola, Mc Donalds dan
lain-lain. Mc
Donalds, salah satu pewaralaba rumah makan siap saji terbesar
di dunia Perusahaan Coca cola di Atlanta, AS
5.
Di Indonesia
waralaba yang berkembang pesat dan masih sangat menguntungkan adalah waralaba
di bidang makanan (Wong Solo, Sapo Oriental, CFC, Hip Hop, Red Crispy, Papa
Rons dan masih banyak merek lainnya). Waralaba berbentuk retail mini outlet
(Indomaret, Yomart, AlfaMart) banyak menyebar ke pelosok kampung dan pemukiman
padat penduduk.
Di
bidang Telematika atau Information & Communication Technology , jugamulai
diminati pada 3 tahun terakhir ini berkembang beberapa bidang waralaba seperti
distribusi tinta printer refill/cartridge (Inke, X4Print, Veneta dll) ,
pendidikan komputer (Widyaloka, Binus) , distribusi peralatan komputer (
Micronics Distribution ) , Warnet / NetCafe (Multiplus, Java NetCafe, Net Ezy)
, Kantor Konsultan Solusi JSI , dll. Yang juga menguntungkan adalah waralaba di
bidang pendidikan (Science Buddies, ITutorNet,Primagama, Sinotif) , lebih
menarik lagi terdapat Sekolah robot ( Robota Robotics School ), taman bermain
(SuperKids) dan taman kanak-kanak(FastractKids, Kids2success , Townfor Kids) ,
Pendidikan Bahasa Inggris (EF/English First, ILP, Direct English) dll.
BAB – IV
P E N U T U P
4.1. Kesimpulan
Kegitan
bisnis franchise atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai kegiatan
waralaba dalam operasionalnya harus dilakukan melalui suatu perjanjian
(kontrak). Kontrak franchise pada umnya meliputi pemasaran merekmerek atau
produk ternama yang terkenal dimanca negara. Oleh karena itu kontrak terhadap
kegiatan ini dikenal sebagai kontrak yang mengacu pada hukum kontrak
internasional. Di Indonesia pengaturan franchise didasarkan pada PP No.
42 Tahun 2007 tentang Waralaba, sebagai pengganti/penyempurnaan dari PP No.16
Tahun 1997 tentang Waralaba.
4.2. Saran-Saran
Dalam
pembuatan kontrak hendaknya franchisor memperhatikan aspek manfaat baik
terhadap dirinya, terlebih manfaat bagi franchisee. Hal ini perlu dilakukan
karena franchisee yang berada di Indonesia (yang mengadakan perjanjian
dengan ranchisor dari Luar Negeri) akan memperoleh nilai tambah dalam
usahanya untuk kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Sangat diperlukan
pengawasan pemerintah terhadap persetujuan perjanjian antara franchisor dengan
franchisee sehingga franchisee sebagai penerima lisensi tidak
dirugikan karena perjanjiannya tidak jelas. Untuk itu perlu ada sosialisai
terhadap mereka yang akan terjun dalam bisnis franchising tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar,
Tengku Keizerina Devi,2005, Perlindungan Hukum Dalam Franchise. Badrulzaman,
Mariam Darus, 2005, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung. Fuady, Munir,
1999, Hukum Kontrak, dari sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti,
Bandung. …….., 1994, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek Buku Kedua, Citra
Aditya Bakti, Bandung. Khairandy, Ridwan, 2000, Perjanjian Franchise sebagai
Sarana Alih Teknologi, Pusat Studi Hukum UII Jogyakarta bekerjasama dengan
Yayasan Klinik HAKI, Jakarta. Naihasy, Syahrin, 2005, Hukum Bisnis ( Business
Law ), Mida Pustaka Yogyakarta, 2005 Rahardjo, Satjipto, 1978, Permasalahan
Hukum Di Indonesia, Alumni, Bandung. Salim, SH, 2003, Hukum Kontrak,
Sinar Grafika, Jakarta. Simatupang, Richard Burton, 2003, Aspek Hukum Dalam
Bisnis, Rineka Cipta, Jakarta. Subekti, R, 2002, Pokok-pokok Hukum Perdata,
Intermassu, Jakarta. Subekti, R, 2002, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta. Subekti,
R dan Tjitrosudibio, R, 1978, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgerlijk
Wetboek, Pradnya Paramita, Jakarta. Juajir Sumardi, Juajir, 1995,
Aspek-Aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Transnasional, Citra Aditya
Bakti, Bandung. Widjaja, Gunawan, 2001 Seri Hukum Bisnis : Waralaba, Raja
Grafindo Persada, Jakarta. Yustian Ismail, Yustian, 1997, Pengembangan
Franchise dan larangan Ritel besar masuk Kabupaten, Business News.
Karya Ilmiah
Arifiah,
Nurin Dewi, 2008, Pelaksanaan Perjanjian Bisnis Waralaba Serta Perlindungan
Hukumnya Bagi Para Pihak (Studi di Apotek K-24 Semarang), Tesis S2 Program
Pascasarjana Studi Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro, Semarang Iswanto,
Bambang Tjatur, 2007, Perlindungan Hukum Terhadap Franchise Dalam Perjanjian
Franchise di Indonesia, Tesis S2, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas
Diponegoro, Semarang
Sumber Lain
Haliem,
Barly, Majalah Kontan, 7 April 2003, Mengembangkan Bisnis Tanpa Modal, Muharam,S,
SMfr@nchise, January, 2003, Apa itu Bisnis Waralaba, Setiawan, Deden, Harian
Dian Rakyat, 2007, Franchise Guide Series – Ritel, Sjahputra, Imam,
www.waralaba.com. Franchise : Perikatan Haki yang diperluas, diakses 2 Juni
2011. http://www.waralabaku.com/Program Ekspor Waralaba & Lisensi Indonesia
2010: diakses 2 Juni 2011 http : www.waralaba.com, diakses 30 Mei 2011. http://www.mypulau.com,
Es Teler 77 dan ILP Go Internasional, diakses 3 Juni 2011 Makassar, 8 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar